“Di atas itu
nggak selamanya bahagia, di bawah itu nggak mesti duka. Mungkin justru berada
di antaranya kita akan ketemu sama yang namanya sederhana.”
Banyak banget bukti-bukti dari
praktek tindakan di atas, berusaha ada di antara atas dan bawah juga jadi
pribadi yang sederhana. Tapi sayang, beda banget sama yang aku rasakan. Tiga posisi
itu nggak ada bagus-bagusnya buat aku. Mungkin, kata “galau” ada karena perasaan
nyaman nggak didapetin pas ada di tengah. Ketika kita memilih menjadi The
Middle di antara atas dan bawah tapi yang kita dapetin bukan sederhana, mau
apa? Bingung kan. Bahkan The Middle adalah posisi terburuk, menurutku. Kenapa
aku bisa bilang demikian? Kebetulan aku pernah mengalami tiga posisi ini di
waktu yang mungkin nggak enak banget.
Di atas,
Aku suka banget nyanyi. Kebetulan beberapa
tahun yang lalu sempet punya band. Gimana nggak bahagia, aku nggak pernah punya
kenalan anak band, paling cuma beberapa pemain gitar amatir yang sering
akustikan nggak jelas. Eits, ternyata anak band itu terlahir dari ‘pemain gitar
amatir yang sering akustikan nggak jelas’. Entah ada angin apa, mereka yang
udah terbentuk dan udah punya nama ngajak aku gabung sama mereka buat ngisi
kekosongan di bagian depan, vokalis. Sumpah, saat itu aku berasa keren, berasa
jadi orang paling beruntung di antara orang-orang yang pengen tapi nggak bisa.
Setelah terbuai cukup lama, aku
sadar tentang sesuatu. Posisi itu nggak abadi. Debat adalah snack yang paling
sering kami bawa setiap ke studio. Keputusan terakhir dari perdebatan nggak
menjamin semua personil setuju, satu atau dua orang pasti nggak match. Sampai akhirnya
memutuskan untuk vakum dan kebablasan juga, sampai nggak berbau.
Nggak cuma itu, pandangan orang tentang aku before after
udah beda. Dan itu nggak enak.
Nggak enak…
Itu salah satu contoh nggak enaknya jadi orang ‘di atas’
setelah membaur dengan kenyataan.
Di bawah,
Aku tipe orang yang nggak terlalu
suka ‘ngoyo’. Sifat jelek sih kalau dibawa sekolah. Kayak misal aku nggak bisa
rumus A, aku coba tetep nggak bisa, akhirnya aku nyerah. Sampai ketemu ujian,
nilai-nilaiku sama sekali nggak memuaskan, bodohnya lagi aku nggak introspeksi.
Sampai ketemu pembagian raport, dan rankingku di bawah banget. Aku nangis,
nangis karena nyesel. Tapi ya cuma di saat itu aja.
Mungkin orang-orang di sekitarku
pada risih kali ya ngliat aku nggak ada usaha sama sekali buat maju, sampai
akhirnya pada menjauh dan aku merasa dibutuhkan di saat-saat yang nggak terlalu
penting.
Setelah aku bener-bener punya niat
berubah menjadi pribadi yang jauh lebih baik, kesempatan itu udah hangus. Nggak
banyak yang bisa nerima perubahanku.
Nggak cuma itu, pandangan orang tentang aku before after
udah beda. Dan itu nggak enak.
Nggak enak…
Itu salah satu contoh nggak enaknya jadi orang ‘di bawah’
setelah membaur dengan kenyataan.
Di tengah,
Bayangin aja, ada di antara seorang
temen yang tiba-tiba jadi artis mendadak di mana kita juga lagi pengen banget
di posisi itu dan temen yang sama sekali nggak ada usaha buat maju di mana kita
lagi usaha sekuat tenaga demi mencapai hal yang sama lalu dia hanya
mengandalkan sesuatu yang nggak baik.
Dan itu nggak enak.
Nggak enak…
Itu salah satu contoh nggak enaknya jadi orang ‘di tengah’
setelah membaur dengan kenyataan.
Sederhana itu nggak segampang
bayangan. Ternyata. Kita justru tersiksa hidup di antara atas dan bawah. Biasanya
hal ini yang bikin seseorang pengen menyindiri dalam jangka waktu yang lumayan lama.
Tapi lihat aja, sampai kapan mereka mau menyendiri? Selamanya?
Bagaimanapun juga kita semua adalah
makhluk sosial yang pasti membutuhkan orang lain. Dan bahasan di atas bisa
diartikan,
“Kehidupan bukan untuk memilih
posisi di atas, di bawah, ataupun di tengah. Tapi bagaimana kita bisa sangat
pandai menjadi makhluk sosial yang berguna bagi SIAPA SAJA.”
-marisadews-
(parable)