Dua
sejoli itu terus menertawai kelucuan yang mereka buat. Sesekali menggenggam
tangan satu sama lain, saling melempar senyum tanda sayang, mengelus pipi, apa
saja yang masuk kategori mesra bagiku sudah mereka lakukan. Tentu ada batasnya,
ini tempat umum, dan tidak semua yang duduk di ruangan ini sedang bermesraan
layaknya mereka. Aku salah satunya, mungkin satu-satunya. Entahlah. Tunggu,
tadi aku bilang mereka menertawai kelucuan? Lampau sekali pemikiranku. Itu
bagiku saat seragam sekolah menengah atas masih melekat erat pada tubuhku. Ya,
seperti yang mereka kenakan sekarang dan sebagian besar manusia di ruangan ini.
Lalu aku di sini, sendiri, bertatap muka dengan segelas lemon tea yang dari tadi terus kuaduk. Tiga puluh dua menit.
Menunggu memang membosankan.
Kembali
kuamati remaja labil yang sedang bermesraan. Berpikirkah mereka tentang 10
tahun ke depan? Tetapkah pasangannya? Muluskah jalannya? Who knows? Anak kecil. Bukan karena duduk di sini sendiri tanpa
pasangan seperti mereka, aku pernah berada pada posisi mereka, di sini pula. Lalu?
Hap! Seseorang tiba-tiba duduk di depanku seperti maling yang lolos dari
kejaran masa setelah menempuh jalan yang panjang. Terengah-engah dan penuh
peluh.
“Maaf,
sayang…”, kemudian dia meraih tangan kiriku yang lebih pengangguran ketimbang
yang kanan.
Tiga
puluh lima menit. Tidak bosankah pria ini terlambat. Sepuluh tahun berlalu. Aku
kesal, rasanya ingin mengguyurkan lemon
tea-ku ke wajahnya, namun matanya meruntuhkan amarahku. Tidak ada bedanya
dengan sepuluh tahun lalu. Aku pun tersenyum pasrah, isyarat maaf untuknya.
“Kangen?
Mau bicara apa?”, senyumnya.
Aku
menatap tajam matanya. Meyakinkan batinku untuk mengatakan ini.
“Masih
ingat tempat ini?”, aku sedikit gagap.
“Tentu,
sayang. I met a girl with a beautiful
smile here, the most beautiful girl.”, dia mengusap pipiku. Aku menunduk
menyembunyikan mata yang mulai berair.
“Karena
kita bertemu di sini, aku ingin perpisahan kita juga di sini.”, aku masih
menunduk, berat sekali kepalaku.
“Pisah?”,
aku mengangguk. “Nadia, pikirkan lagi! Tatap aku!”, aku tidak menatapnya sama
sekali, namun nada suaranya menunjukkan kesedihan, dalam.
“Sudahlah,
Gas. Ini nggak bisa diteruskan! Kamu kan yang bilang bahwa suatu hari nanti aku
harus memilih, dan aku melakukannya sekarang.”, kutatap wajahnya yang sedang
kecewa. Air mataku tak tertahan. Aku mencintainya, Tuhan.
“Lima
tahun, Nadia. Bahkan aku berjanji pada diriku sendiri, apa arti pernikahan jika
bukan kamu mempelaiku. Aku melakukannya.”
“Aku
mencintai suamiku! Sebesar aku mencintaimu.”
“Lalu
apa bedanya? Tinggalkan dia dan menikahlah denganku!”
“Nggak
semudah itu, Bagas. Menikahlah, tapi bukan denganku.”, aku mencoba tetap tegar,
menghapus air mata yang meluap, dan berhenti menangis.
“Nggak
semudah itu, Nadia.”, kini dia yang menunduk. Aku menatap ke luar, menembus
kaca, melihat suamiku baru saja tiba dan melambaikan tangannya dari dalam
mobil. Aku tersenyum padanya.
“Aku
berharap kita bertemu lebih lama tapi waktu yang seharusnya bisa kita
manfaatkan lebih lama untuk pertemuan terakhir usai, Bagas. Aku tunggu undangan
pernikahanmu.”, aku menyentuh lengannya dan pergi.
Aku
hanya ingin meninggalkan dosa. Cinta, pasti datang seiring waktu yang terus
berputar. Aku hanya ingin memilih yang benar. Selagi Tuhan memberikanku waktu
untuk sadar, aku tidak tahu kapan Tuhan akan memberikannya lagi setelah hari
ini. Tuhan memberikan kesempatan, membuka mataku untuk melihat lebih dalam,
pria tangguh di sebelahku ini yang terbaik. Tidak ada dua terbaik. Hanya satu.