Jumat, 16 Mei 2014

Decision.

Dua sejoli itu terus menertawai kelucuan yang mereka buat. Sesekali menggenggam tangan satu sama lain, saling melempar senyum tanda sayang, mengelus pipi, apa saja yang masuk kategori mesra bagiku sudah mereka lakukan. Tentu ada batasnya, ini tempat umum, dan tidak semua yang duduk di ruangan ini sedang bermesraan layaknya mereka. Aku salah satunya, mungkin satu-satunya. Entahlah. Tunggu, tadi aku bilang mereka menertawai kelucuan? Lampau sekali pemikiranku. Itu bagiku saat seragam sekolah menengah atas masih melekat erat pada tubuhku. Ya, seperti yang mereka kenakan sekarang dan sebagian besar manusia di ruangan ini. Lalu aku di sini, sendiri, bertatap muka dengan segelas lemon tea yang dari tadi terus kuaduk. Tiga puluh dua menit. Menunggu memang membosankan.
Kembali kuamati remaja labil yang sedang bermesraan. Berpikirkah mereka tentang 10 tahun ke depan? Tetapkah pasangannya? Muluskah jalannya? Who knows? Anak kecil. Bukan karena duduk di sini sendiri tanpa pasangan seperti mereka, aku pernah berada pada posisi mereka, di sini pula. Lalu? Hap! Seseorang tiba-tiba duduk di depanku seperti maling yang lolos dari kejaran masa setelah menempuh jalan yang panjang. Terengah-engah dan penuh peluh.
“Maaf, sayang…”, kemudian dia meraih tangan kiriku yang lebih pengangguran ketimbang yang kanan.
Tiga puluh lima menit. Tidak bosankah pria ini terlambat. Sepuluh tahun berlalu. Aku kesal, rasanya ingin mengguyurkan lemon tea-ku ke wajahnya, namun matanya meruntuhkan amarahku. Tidak ada bedanya dengan sepuluh tahun lalu. Aku pun tersenyum pasrah, isyarat maaf untuknya.
“Kangen? Mau bicara apa?”, senyumnya.
Aku menatap tajam matanya. Meyakinkan batinku untuk mengatakan ini.
“Masih ingat tempat ini?”, aku sedikit gagap.
“Tentu, sayang. I met a girl with a beautiful smile here, the most beautiful girl.”, dia mengusap pipiku. Aku menunduk menyembunyikan mata yang mulai berair.
“Karena kita bertemu di sini, aku ingin perpisahan kita juga di sini.”, aku masih menunduk, berat sekali kepalaku.
“Pisah?”, aku mengangguk. “Nadia, pikirkan lagi! Tatap aku!”, aku tidak menatapnya sama sekali, namun nada suaranya menunjukkan kesedihan, dalam.
“Sudahlah, Gas. Ini nggak bisa diteruskan! Kamu kan yang bilang bahwa suatu hari nanti aku harus memilih, dan aku melakukannya sekarang.”, kutatap wajahnya yang sedang kecewa. Air mataku tak tertahan. Aku mencintainya, Tuhan.
“Lima tahun, Nadia. Bahkan aku berjanji pada diriku sendiri, apa arti pernikahan jika bukan kamu mempelaiku. Aku melakukannya.”
“Aku mencintai suamiku! Sebesar aku mencintaimu.”
“Lalu apa bedanya? Tinggalkan dia dan menikahlah denganku!”
“Nggak semudah itu, Bagas. Menikahlah, tapi bukan denganku.”, aku mencoba tetap tegar, menghapus air mata yang meluap, dan berhenti menangis.
“Nggak semudah itu, Nadia.”, kini dia yang menunduk. Aku menatap ke luar, menembus kaca, melihat suamiku baru saja tiba dan melambaikan tangannya dari dalam mobil. Aku tersenyum padanya.
“Aku berharap kita bertemu lebih lama tapi waktu yang seharusnya bisa kita manfaatkan lebih lama untuk pertemuan terakhir usai, Bagas. Aku tunggu undangan pernikahanmu.”, aku menyentuh lengannya dan pergi.
Aku hanya ingin meninggalkan dosa. Cinta, pasti datang seiring waktu yang terus berputar. Aku hanya ingin memilih yang benar. Selagi Tuhan memberikanku waktu untuk sadar, aku tidak tahu kapan Tuhan akan memberikannya lagi setelah hari ini. Tuhan memberikan kesempatan, membuka mataku untuk melihat lebih dalam, pria tangguh di sebelahku ini yang terbaik. Tidak ada dua terbaik. Hanya satu.