Selasa, 25 November 2014

Pintu (Part 1)

Sore itu aku menyadari, aku berlari menjauh dari rumah demi menyatu dengan tanah gersang ini. Aku berusaha mencintainya meski tanpa hadirnya keinginan untuk mencinta. Setiap hari terik menusuk kain baju tebalku, menembus kulit, kemudian ke tulang. Wajah seakan terbakar, jera kupikir untuk kembali, namun aku tetap kembali. Neraka bocor, kata mereka. Pencakar langit terus bermunculan, di mana ada lahan, di situ terpupuk para pekerja berkepala kuning, dan suburlah gedung-gedung yang merasa dirinya adalah pelindung. Aku jarang berkunjung ke ibukota, namun kurasa tempat ini lebih padat. Di rumah, aku jarang mandi sore, dingin. Tidur tanpa kipas, angin sudah seperti orang marah, bahkan selimut pun rindu merangkul setiap malam.
Pekan ini memasuki musim hujan. Rinduku terbayang seperti di rumah. Wangi khas hujan yang tak tergantikan, hujan siang kala tubuh lelah berdendang, jatuhnya kepingan yang bernada. Namun, Tuhan Maha Bercanda. Sedetik gerimis, sehari kuhabiskan waktu menunggu rombongan tetuanya, lalu datang pada sepertiga malam, itupun hanya semenit. Tuhan Maha Bercanda. Manusia-manusia di seberang bahkan sudah mengeluh dengan hujan yang tak henti-henti. Aku? Diam ikhlas menunggu hujan, lalu berbicara pada diri sendiri. Kota ini ditakdirkan untuk gersang dan tidak pernah luput dari terik penuh tusukan. Ya, aku mengerti.
Pagi ini aku bangun dan bergegas menengok keluar, hujankah pagi tadi? Setidaknya debu-debu pagi itu tidak bermunculan menghiasi tapal kuda perangku. Mana terasa hujan semenit? Ya ya ya, tidak hujan... lagi...
Ketika aku menulis ini, entah datang dari mana, dingin menusuk kulit hingga ke tulang, hidungku basah akan peluh, tapi tak ada hujan. Kemudian muncul bayangmu...
“Hai...”, kamu mengintip dari sela-sela pintumu.
Aku tersenyum tipis, lalu mengerutkan keningku. Matamu tidak berhenti menatap, sesekali aku merasa pipimu naik, tanda senyummu sedikit-sedikit merekah. Dari situ kita saling mengenal. Angin sudah seperti orang marah. Sejuk, meski hanya bisa melihat sebelah matamu, dan sedikit sungging senyum bibirmu.
Lama-lama kamu membuka pintu semakin lebar. Tak sadar terik, angin sudah seperti orang marah, rasanya enggan mandi sore, dingin. Sekarang aku bisa melihat kedua matamu dan gigi-gigimu yang berjajar rapi.
“Aku suka itu...”, aku menunjuk malu padamu. Segera kamu membuka pintu sangaaat lebar. Masih dengan mata indah itu dan senyum yang tak ada niatku untuk melupakan. Tak peduli terik, angin sudah seperti orang marah, mandi sore pun enggan, dan ini belum malam, namun selimutku sepertinya rindu merangkul.
“Pintu ini aku buka selebar ini, untukmu...”, aku meyakinimu, tak ada mau untuk sedikitpun meragu. “Tapi jangan masuk dulu...”, kamu menambahkan. Untung aku masih selangkah dari pijakanku. Terik sudah pergi, angin sudah seperi orang marah, mandi sore sudah tidak kupikirkan lagi, selimutku memanggil-manggil namaku izin merangkul. Aku bersabar...
Senyummu masih seperti tadi, namun sedikit demi sedikit memudar. Pandanganmu jadi menginterogasi. Terik memang pergi, angin sudah seperti orang marah, titik-titik air itu akhirnya datang. Aku bertanya, “Boleh aku berteduh?”
Kamu diam seribu ucap.
“Bukankah, pintu terbuka selebar itu untukku?”, aku bertanya lagi.
“Ya”, kamu menjawab singkat. “Aku bilang jangan masuk dulu”, kemudian kamu sungging senyum yang tadi. Aku mengalah.
Terik benar-benar pergi, titik-titik berkembang jadi gerombolan yang lebih kuat. Tanpa aku bicara, kamu sudah bilang, bahwa aku belum waktunya untuk masuk.
Terik benar-benar pergi, titik-titik berkembang jadi gerombolan yang lebih kuat, angin sudah seperti orang marah. Kamu masih memandangiku dan tersenyum. Lama.
“Haruskah aku pergi saja? Ini badai.”, aku bertanya.
Kamu diam.
...
...
...
“Baiklah, aku pergi...”, aku melangkah mundur.
“Pintu ini aku buka selebar ini, untukmu...”, aku meyakinimu, tak ada mau untuk sedikitpun meragu. Tapi aku harus pergi.


Kamu membuka pintu selebar itu untukku, namun tak sedikitpun kamu membiarkanku masuk, bahkan untuk berteduh sekalipun, ini badai...
Bukalah pintu selebar itu, jika memang kamu benar-benar siap.

Sabtu, 15 November 2014

Thank God It’s Rain

I’m sitting down like doing nothing at my room. My temporary room. Build something that could makes me like doing something but it’s all fail. Yes, pardon, I really doing nothing. And thinking entirely. And memories start. And tear drops. Feels like life’s so bad to pass by. I’m just so tired, mama...

And rain down.

Indonesia’s proverb said that like a long dray revenge by a day rain. It was as good as I thought, I’m back to me, my smiles, my spirits, my, oh my real life. And gone sad again. And thinking entirely. And memories start. About you. Hahaha, you. Let me ask, why it’s all always you? The woman’s man and I’m just a girl who is not going to grow up immediately. And tear drops.

But thank God it’s rain. It’s kinda a thing that could back up a bit of me.
Thank God it’s rain. I'm so in love with it. But next time, remind me about rain and without a thought of him. Because it’s gonna make something like thinking entirely, and memories start, and tear drops. And I never want it.

Thank God.
Thank you.

A bit me, Marisa, lot of love!
I mean A LOT!